Thursday 30 June 2011

Kisah dari sebuah kejujuran

FIRA NURAHMAH AL AMIN/G14090036

Kisah dari sebuah kejujuran

Ini bukan lah kisah pengalaman hidup saya ini adalah kisah yang dialami oleh teman saya. Teman saya adalah seseorang yang sangat jenius, pintar, dan terlalu taat pada norma agama maupun norma sosial yang berlaku di kehidupan sosial. Tetapi di zaman yang sekarang ini sangatlah sulit mencari sebuah kejujuran yang alami ibarat sulit mencari kain yang suci putih bersih tanpa sedikitpun noda hitam yang terdapat dalam kain tersebut. Mungkin teman saya itu adalah orang yang relatif putih bersih, saya menggunakan kata relatif karena memang manusia tidak pernah luput dari kesalahan tetapi bukan berarti manusia dengan sengaja melakukan kesalahan bukan ? apalagi menyangkut dengan kejujuran. Suatu hari ketika saya sedang berjalan di daerah dekat sekolah SMA saya dahulu, saat asyiknya bercengkrama dengan seksama dan seketika pandangan teman saya menuju sebuah koper coklta yang berada dekat sebuah pohon besar disebelah semak-semak belukar yang terlihat menyeramkan. Dia berjalan perlahan mendekati koper coklat yang bersandar disana, saya hanya berdiri sekitar 5 meter dari koper tersebut. Perasaan takut dan serba salah menghantui pikiran saya, dan ingin rasanya mempengaruhi ia agar tidak mendekati koper tersebut, pikiran saya melayang dan terpaku pada hal yang negatif diluar pemikiran rasional, apalagi sedang mewabahnya berita tentang bom yang merajalela dimana-mana. Saat kalimat itu ingin terlontar, sayangnya teman saya sudah memegang erat koper coklat itu dan memasang wajah yang agak keheranan. Sambil membawa koper itu dia menghampiri saya, terbersit dalam pikiran ingin lari secara tiba-tiba karena mindset di pikiran saya hanyalah bom yang akan segera meledak. Tatapan mata teman saya seolah-olah menenangkan hati saya, entah apa yang terjadi saya tetap berdiri disampingnya sampai suatu ketika ia pelan-pelan membuka koper coklat. Dan betapa herannya saya melihat apa yang berada dalam koper tersebut, didalamnya adalah bertumpuk-tumpuk uang ratus ribuan yang mungkin sekitar seratus juta. Mungkin adalah kalimat yang tepat karena saya sangat terkejut, hal tersebut di luar pemikiran saya. Terfikir dalam pikiran saya, ibu dari teman saya memang sedang dirawat dirumah sakit. Beliau sakit keras dan saya tahu teman saya bukan lahir dari keluarga yang beruntung, untuk makan sehari-hari saja ia mungkin kesulitan apalagi membayar sekolah ataupun biaya rumah sakit, saya hamper menangis jika membayangkannya. Tatapan mata saya tertuju pada tumpukan uang dalam koper coklat dan langsung melesat kea rah bola mata teman saya, dengan gerakan menyodorkan koper tersebut ke arah teman saya dengan artian uang itu untuk membiayai pengobatan ibunya, mungkin ia mengerti akan apa yang saya ingin ucapkan kepadanya. Dengan senyuman yang hangat dan tepukan dibahu saya ia berkata “kita bawa uang ini ke kantor polisi yuk fir?” sambil menutup koper dan menggenggamnya. “jangan lebih baik ini untuk biaya pengobatan ibu kamu, mungkin saja ini pemberian Allah SWT kepada kamu” ungkap saya. Sambil tertunduk dan tersenyum dia berkata “tidak fira, ini bukan uang milikku ini adalah uang milik orang lain yang terjatuh disini” berkata dengan nada tenang. Rasa haru bercampur dengan kagum menyelimuti hati saya, kagum karena kejujuran hati teman saya yang tidak ingin menggunakan uang itu untuk pengobatan ibunya, rasa haru karena jika memang tidak ada biaya untuk pengobatan ibunya bagaimana ? apa harus rawat jalan padahal ibunya sakit keras ?. Sepanjang perjalanan menuju kantor polisi saya hanya termenung, ya termenung karena bingung hendak berkata apa untuk memberi pendapat yang terbaik bagi teman saya. Saya hanya berdiri diluar kantor polisi sementara teman saya masuk ke kantor polisi dan memberikan keterangan mengenai bagaimana detail kejadian ia menemukan koper coklat yang berisi setumpuk uang. Sekitar 60 menit teman saya berada di dalam kantor polisi, ia keluar dan mengahampiri saya tanpa beban seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Tiba-tiba kutarik kerah baju sma yang ia pakai dan kupeluk erat tubuhnya, ia bergumam “aku tau fir, Allah pasti punya rencana lain dibalik semua kejadian ini, aku yakin pasti ada jalan keluar mengenai biaya pengobatan ibuku”. Air mata menetes dari kelopak mata saya, tak kuasa mendengar begitu bijaksananya teman saya ini. Saya hanya mengangguk angguk sambil berusaha menyapu air mata yang hendak keluar dari kelopak matanya. Hari itu adalah hari yang tidak terlupakan untuk saya maupun teman saya. Tiga minggu waktu berjalan begitu cepatnya, saya mendengar kabar yang mengatakan ibu dari teman saya itu sembuh dan biaya dari pengobatannnya selama hampir dua bulan ditanggung oleh JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat). JAMKESMAS adalah sebuah program kesehatan dari pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dalam bidang kesehatan. Rasa syukur tak henti-hentinya saya panjatkan kepada Allah SWT, saya yakin Tuhan tidak tidur, Ia Maha Melihat dan Maha Mendengar, dan Allah mendengar doa teman saya. Saya pun yakin bahwa sebuah kejujuran tak ternilai harganya, dan Allah Maha Mengetahui dan senantiasa mendengar doa orang yang beriman.

1 comment: